Oleh:
Fikram Eka Putra
“Nenek ingin aku memperoleh pendidikan, karenanya dia melarangku bersekolah” -Margaret Mead-
Seutas ungkapan diatas sebenarnya menggambarkan kritikan yang dilontarkan kepada sekolah sebagai lembaga terbesar yang mendominasi pendidikan saat ini. Diterima atau tidak, ungkapan tersebut penulis tafsirkan sebagai sebuah kritikan yang terspesialisasi pada sistem pendidikan di sekolah yang sudah tidak senada dengan kodrat pendidikan yang sesungguhnya
Paulo Freire pada gilirannya ikut mengambil bagian mengkritik sekolah sebagai suatu institusi pendidikan, bahwa pendidikan dengan struktur institusionalnya hanya merupakan alat untuk menyebarluaskan penindasan terhadap rakyat kecil, penindasan melalui sistem pendidikan, sehingga rakyat kecil kehilangan kesadaran terhadap diri sendiri maupun kenyataan yang menindasi itu. Rakyat miskin seakan harus pasrah menerima suratan takdir dan terkurung dalam suatu “kebudayaan bisu” (culture of silence).
Beberapa ahli juga ikut mengambil bagian melontarkan kritikan keras terhadap sistem pendidikan yang dipraktikkan pada lembaga sekolah. Namun, sebelum lebih jauh kita membahas mengenai kritikan terhadap sistem sekolah, alangkah lebih baik jika kita pahami hakikat keberadaan sekolah melalui sejarah munculnya sekolah untuk pertama kali.
Sekolah untuk pertama kali ditemukan istilahnya dalam bahasa latin, scola, scolae, skhole atau schola, yang jika diartikan secara harfiah berarti waktu senggang, atau jika ditafsirkan sebagai waktu senggang yang digunakan untuk belajar. Pengertian ini selaras dengan asumsi bahwa dulunya orang Yunani menghabiskan waktu luangnya dengan mengunjungi seseorang yang pandai untuk menanyakan mengenai apa-apa yang mereka rasa perlu diketahui.
Selanjutnya, pengetahuan yang diperoleh tersebut dituturkan kepada anak cucunya. Namun, seiring dengan kesibukan yang dimiliki oleh orang tuanya, mereka tidak memiliki waktu untuk mengajarkan anaknya. Sebagai alternatifnya mereka menitipkan anaknya kepada orang-orang pandai tersebut untuk menggantikan peran orang tua dalam memberikan pendidikan terhadap anaknya. Tempat penitipan tersebut kemudian menjadi lembaga pengasuhan yang diistilahkan sebagai “ibu asuh” atau “ibu yang memberikan ilmu”. Hal ini kemudian menjadi cikal bakal sekolah seperti saat ini.
Dari uraian di atas setidaknya dapat kita tarik poin penting mengenai hakikat sekolah pada zaman dahulu. Pertama, sekolah pada awalnya mengajarkan pengetahuan yang dirasa perlu diketahui oleh peserta didik. Kemudian, sekolah pada zaman dahulu mengindikasikan peran utama orang tua di dalamnya. Terakhir, sekolah diartikan sebagai waktu senggang yang dimanfaatkan untuk belajar.
Jika kita bercermin pada hakikat sekolah sebagaimana istilah aslinya, maka kita akan menemukan beberapa anomali yang diperlihatkan oleh sistem sekolah saat ini. Anomali-anomali inilah yang kemudian memunculkan beberapa kritikan tajam mengenai keberadaan dan esensi sekolah.
Kritikan yang muncul sebenarnya merupakan bentuk respon terhadap degradasi fungsional sekolah sebagai lembaga pendidikan formal terbesar. Di antara degradasi fungsional yang terlihat jelas dalam lembaga sekolah menurut pengamatan penulis adalah adanya praktik kapitalisme dan pola industrialisasi dalam sistem pendidikan sekolah.
Adanya berbagai regulasi pemerintah atas nama mencerdaskan kehidupan bangsa, mewajibkan masyarakat untuk memenuhi tuntutan wajib belajar dalam artian menempuh pendidikan formal (sekolah). Namun, dalam praktiknya regulasi wajib belajar tersebut bertentangan dengan realita mahalnya biaya sekolah dan realita bahwa saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia berada di bawah garis kemiskinan.
Program sekolah murah, atau bantuan biaya pendidikan dinafikan keberadaannya secara esensial oleh berbagai data dan fakta, seperti yang diungkapkan Sri saat konferensi pers Indonesia Hygience Forum ke-8, Rabu (13/10/2021), bahwa “Potensi anak putus sekolah didominasi oleh keluarga tidak mampu secara ekonomi. Didapatkan 118 ribu anak tidak bersekolah, ini berdasarkan perkiraan bank dunia sesuai hasil analisanya”. Kemudian, menurut rilis data badan Pusat Statistik mengenai angka anak tidak sekolah berdasarkan jenjang sekolahnya dari SD hingga SMA, menunjukkan semakin tinggi jenjang sekolahnya, semakin tinggi pula angka anak tidak sekolah.
Penulis menganalisa kondisi di atas sesuai realita yang didapat secara empiris. Kondisi demikian selaras dengan kenyataan bahwa sekolah dianggap sebagai suatu kewajiban. Bahkan, orang tua beranggapan sekalipun ada dosa yang paling besar, itu adalah dosa tidak menyekolahkan anaknya. Sekolah dalam persepsi masyarakat adalah sebagai satu-satunya lembaga yang mampu mewujudkan tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia. Persepsi tersebut mampu menafikan urgensi pendidikan orang tua dalam sistem sekolah seperti zaman dahulu. Persepsi yang demikian juga mampu mentransformasi kesadaran kolektif masyarakat untuk meyakini bahwa sekolah sebagai kebutuhan, dari yang seharusnya pendidikan sebagai kebutuhan.
Terakhir, sekolah juga mengalami pergeseran persepsi, sebagai lembaga yang mampu menaikkan derajat sosial, bahwa semakin tinggi sekolah seseorang semakin diakui pula status sosial dan keberadaannya di tengah masyarakat. serangkaian persepsi tersebut pada gilirannya memosisikan sekolah sebagaimana yang diistilahkan beberapa ahli sebagai candu sosial.
Sekolah yang dianggap sebagai candu pada gilirannya membuat masyarakat menjadi ketergantungan. Tak peduli mahal atau tidaknya, orang tua akan berupaya menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Kondisi tersebut memberikan peluang yang besar bagi praktik kapitalisme berkembang dalam dunia pendidikan terkhusus sekolah. Kaum kapitalis memanfaatkan kondisi tersebut dengan menjadikan sekolah sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Tidak dapat dipungkiri, saat ini sekolah hanya berorientasi pada aspek materialisme yang didewakan oleh kaum kapitalis.
Sebagai buktinya, mungkin kita sudah tidak asing dengan istilah sekolah elit, sebenarnya sekolah elit merupakan wujud nyata praktik kapitalis dalam sekolah. Sekolah elit pada kenyataannya hanya menjadikan sekolah sebagai komoditas, mereka menawarkan berbagai fasilitas yang mewah dengan harga yang mewah pula, disertai dengan jaminan status sosial yang tentunya lebih tinggi dalam masyarakat. Sistem pendidikan pada sekolah elit pada kenyataannya sama dengan sistem pendidikan sekolah pada umumnya.
Namun, ada yang tidak dijual di sekolah biasa yaitu fasilitas dan derajat sosial yang tinggi. Sehingga misi mencerdaskan kehidupan bangsa akan mengalami transisi menjadi misi memperkaya kaum kapitalis dan menaikkan derajat sosial.
Sebagai dampak dari sistem kapitalisme ini, masyarakat Indonesia yang rata-rata berada di bawah garis kemiskinan akan semakin tertindas oleh sistem sekolah. Orang tua peserta didik dari kelas menengah ke bawah yang harusnya menikmati masa tuanya, harus membanting tulang dan memutar otak untuk memenuhi kebutuhan sekolah yang semakin tinggi jenjangnya, semakin mahal pula biayanya.
Selain praktik kapitalisme yang menjadi akar munculnya berbagai kritikan terhadap sekolah, pada gilirannya sistem pendidikan di sekolah juga menjadi salah satu sorotan. Sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah banyak berorientasi pada kebutuhan industri atau lapangan pekerjaan. Sistem yang demikian pada gilirannya akan membentuk polarisasi layaknya sistem industrialisasi.
Analoginya sekolah sebagai sebuah industri, peserta didik adalah bahan mentah, dan guru sebagai pekerja, serta industri-industri dan lapangan kerja lainnya sebagai konsumen. Peserta didik sebagai bahan mentah diolah oleh pekerja (guru) menjadi bahan jadi, sesuai dengan keinginan konsumen (industri/lapangan pekerjaan). Praktik sistem industrialisasi sebenarnya telah mencederai hakikat sekolah sebagaimana istilah asalnya, karena sekolah tidak lagi memberikan pengetahuan yang dibutuhkan oleh peserta didik, tapi dipaksa untuk mengetahui apa yang tidak dibutuhkannya. Hal ini sudah jelas bertentangan dengan hakikat istilah asal dan sejarah sekolah, yang diperuntukkan memnuhi pengetahuan yang dirasa perlu diketahui.
Mirisnya, sekolah sebagai sistem industrialisasi pada kenyataannya adalah industri yang gagal. Logikanya, jika sekolah mampu memenuhi kebutuhan tenaga kerja, lalu mengapa banyak sarjana yang menjadi pengangguran, dan jika sekolah mampu menciptakan tenaga kerja yang kompeten, lalu mengapa ada training dalam dunia pekerjaan. Faktanya, banyak produk-produk yang dihasilkan sekolah tidak bisa memenuhi kebutuhan industri dan lapangan pekerjaan. Jika pun ada yang bekerja, itu tidak bisa menutupi investasi usia dan investasi dana yang dihabiskan selama mereka sekolah.
Oleh karena itu, selama praktik kapitalisme dan sistem industrialisasi masih mencederai hakikat sekolah yang sebenarnya, misi mencerdaskan kehidupan bangsa yang diemban oleh sekolah akan tetap mengalami transisi menjadi misi memperkaya kaum kapitalis dan industrialis.
Sehingga, perubahan paradigma secara kolektif masyarakat mengenai sekolah harus segera diwujudkan. Ketika sekolah tidak sepenuhnya mampu mengemban misi pencerdasan, masih ada orang tua yang mengemban amanah tersebut sebagaimana halnya yang dipraktikkan pada masyarakat Yunani.
Terakhir tulisan ini bukan untuk membangun opini publik bahwa sekolah itu tidak penting. Melalui tulisan ini penulis berharap terbangunnya kesadaran kolektif masyarakat mengenai busuknya praktik kapitalisme dan sistem industrialisasi dalam sekolah. Bahwa setiap lapisan masyarakat mengutuk keras apapun wujud kapitalisme dan sistem industrialisasi dalam sekolah. Alhasil, tanpa dicederai oleh sistem kapitalis dan industrialis sekolah mampu mengemban dengan baik misi mencerdaskan kehidupan bangsa.
“https://www.ganto.co/artikel/853/antara-sekolah-kapitalisme-dan-sistem-industrialisasi.html”